Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyampaikan keprihatinan terkait kenaikan tarif pungutan ekspor untuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Kenaikan ini dikhawatirkan akan mengurangi daya saing produk sawit Indonesia di pasar global dan menambah beban bagi para pelaku usaha.
Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan penundaan kenaikan tersebut. Ia menilai kondisi pasar internasional saat ini kurang menguntungkan bagi Indonesia.
Kenaikan Tarif Pungutan Ekspor CPO dan Dampaknya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2025 resmi mengerek tarif pungutan ekspor CPO. Tarif naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen, berlaku efektif sejak 17 Mei 2025.
Kenaikan juga diberlakukan pada produk turunan CPO. Crude palm olein naik dari 6 persen menjadi 9,5 persen, sementara refined bleached and deodorized palm olein naik dari 4,5 persen menjadi 7,5 persen.
Aturan yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini menambah beban bagi para eksportir sawit. Mereka kini harus menghadapi tiga beban sekaligus: kewajiban pasokan dalam negeri (DMO), bea keluar, dan pungutan ekspor.
Alasan Gapki Meminta Penundaan Kenaikan
Eddy Martono menjelaskan, dinamika geopolitik global turut memengaruhi pasar CPO Indonesia. Perang tarif AS-China dan ketegangan India-Pakistan, dua konsumen utama CPO Indonesia, menjadi faktor penyebabnya.
Kondisi pasar internasional yang kurang stabil ini menjadi pertimbangan utama Gapki untuk meminta penundaan. Situasi yang tidak menentu ini berisiko memperburuk daya saing CPO Indonesia.
Sebelum kenaikan, total beban ekspor CPO mencapai USD 221/metric ton. Gapki belum menghitung total beban pasca-kenaikan, namun kenaikan ini pasti akan menambah beban biaya bagi para eksportir.
Ancaman Terhadap Daya Saing dan Harga TBS
Eddy memprediksi kenaikan pungutan ekspor akan membuat CPO Indonesia kurang kompetitif dibandingkan produk sejenis dari negara tetangga. Hal ini berpotensi menekan harga tandan buah segar (TBS) yang diterima petani.
Meskipun ekspor diperkirakan meningkat, harga CPO domestik justru diprediksi akan turun. Kondisi ini menimbulkan ketidakseimbangan dan berpotensi merugikan petani sawit.
Pungutan tambahan untuk layanan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit juga dinilai mengurangi daya saing. Gapki menyoroti perlunya keseimbangan antara kebijakan pemerintah dan keberlangsungan industri sawit nasional.
Kenaikan biaya ekspor akan memengaruhi harga jual eksportir. Hal ini memerlukan strategi khusus agar tetap mampu bersaing di pasar global. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap industri sawit.
Secara keseluruhan, kenaikan tarif pungutan ekspor CPO menimbulkan kekhawatiran serius bagi industri sawit Indonesia. Gapki berharap pemerintah dapat mempertimbangkan dampaknya dan mencari solusi yang lebih bijak untuk menjaga daya saing dan kesejahteraan petani sawit.
Ketidakpastian pasar internasional dan beban biaya ekspor yang tinggi berpotensi menimbulkan kerugian bagi semua pihak. Diperlukan dialog dan kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha untuk mencari jalan keluar terbaik.