Edukasi

Figur Panutan: Rahasia Gelap Kekerasan Seksual Terungkap

Tim Redaksi

Kasus kekerasan seksual kembali menjadi sorotan, terutama yang melibatkan figur publik yang selama ini dianggap berintegritas tinggi. Terbaru, seorang guru besar di Universitas Gadah Mada (UGM) dipecat karena terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap 13 mahasiswi.

Modus yang digunakan pelaku cukup licik, yaitu memanfaatkan kesempatan dalam membimbing skripsi dan diskusi akademik di luar kampus. Lokasi yang dipilih pun beragam, mulai dari rumah pribadi hingga pusat studi.

Figur Panutan sebagai Pelaku: Relasi Kuasa dan Faktor Lain

Prof. Dra Myrtati Dyah Artaria, Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Airlangga (Unair), mengungkapkan bahwa fenomena figur panutan menjadi pelaku kekerasan seksual bukanlah hal baru.

Menurutnya, ini terkait erat dengan relasi kuasa yang timpang. Posisi dan kedudukan tinggi pelaku menciptakan daya tarik dan rasa kagum, sehingga korban sulit menolak ajakan atau permintaan pelaku.

Selain relasi kuasa, faktor budaya patriarki dan ketimpangan gender juga berperan besar. Lemahnya etika, pengawasan yang minim, serta adanya korban dengan trauma masa lalu turut memudahkan aksi pelaku.

Pelaku seringkali mengincar korban dengan riwayat trauma masa lalu. Kondisi emosional korban yang rentan ini dimanfaatkan pelaku untuk melancarkan aksinya.

Dampak Viralitas Kasus: Ancaman bagi Korban

Myrtati turut mengkritik maraknya pemberitaan kasus kekerasan seksual di media sosial. Meskipun viralitas bisa mempercepat proses hukum, dampak negatifnya jauh lebih besar.

Korban seringkali mendapatkan ancaman, serangan balik, dan tekanan mental yang semakin memburuk. Aksi buzzer yang digunakan pelaku untuk menyerang balik juga semakin memperparah situasi.

Baca Juga:  Rahasia Terungkap: Arkeolog Tentukan Jenis Kelamin Kerangka

Ketakutan korban untuk melapor kepada pelaku yang memiliki posisi sosial tinggi menjadi hambatan utama. Stigma sosial, rasa malu, dan kekhawatiran difitnah juga turut mempengaruhi keputusan korban.

Korban juga bisa mengalami ketergantungan ekonomi atau akademik pada pelaku, membuat mereka semakin takut untuk melapor.

Mencegah Kekerasan Seksual: Upaya Holistik dan Sistemik

Pentingnya membangun sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang lebih efektif dan menyeluruh menjadi perhatian utama. Perlu ada penguatan internal kampus dan peningkatan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender.

Kampanye edukasi yang masif dan komprehensif kepada seluruh civitas akademika perlu digencarkan secara berkelanjutan. Begitu pula dengan penyediaan layanan dukungan psikologis bagi korban kekerasan seksual.

Penting juga untuk memastikan adanya mekanisme pelaporan yang aman dan efektif. Korban harus merasa nyaman dan terlindungi ketika melaporkan kejadian yang dialaminya.

Selain itu, perlu penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Pelaku harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu, apapun latar belakang dan posisinya.

Perubahan budaya dan mindset masyarakat juga sangat krusial. Kampanye anti kekerasan seksual perlu terus digalakkan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi semua.

Perlu kerjasama yang kuat antara berbagai pihak, mulai dari kampus, pemerintah, penegak hukum, hingga masyarakat, untuk memberantas kekerasan seksual secara efektif dan berkelanjutan. Prioritas utama adalah perlindungan dan pemulihan bagi korban, bukan sekadar penegakan hukum semata.

Kesimpulannya, kasus kekerasan seksual yang melibatkan figur panutan menjadi bukti nyata betapa kompleksnya masalah ini. Upaya pencegahan dan penanganan harus bersifat holistik dan sistemik, melibatkan berbagai pihak dan memperhatikan berbagai aspek, mulai dari relasi kuasa hingga stigma sosial. Hanya dengan pendekatan komprehensif seperti ini, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan setara bagi semua.

Baca Juga:  Raih Beasiswa ADik 2025: Kuliah Gratis & Uang Saku

Baca Juga

Tinggalkan komentar