Edukasi

Pelanggaran HAM Anak? Siswa Nakal Di Barak Militer

Tim Redaksi

Program Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer untuk pendidikan karakter, telah memicu perdebatan di masyarakat. Sementara sebagian menilai langkah ini efektif membentuk kedisiplinan, para ahli hukum perlindungan anak mengungkapkan kekhawatiran serius terkait potensi pelanggaran hak anak. Program ini membutuhkan kajian mendalam untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak.

Perdebatan ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara upaya membentuk karakter siswa dan perlindungan hak-hak dasar mereka. Keberhasilan program ini juga bergantung pada metode yang digunakan, pengawasan yang ketat, dan dampak jangka panjang terhadap perkembangan anak.

Potensi Pelanggaran Hak Anak dalam Program Pendidikan Karakter di Barak Militer

Pengiriman siswa bermasalah ke barak militer sebagai bentuk pendidikan karakter menimbulkan pertanyaan mendasar terkait hak-hak anak. Zendy Wulan Ayu Widhi Prameswari, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), menyoroti potensi pelanggaran prinsip Hak Hidup, Kelangsungan, dan Perkembangan Anak. Lingkungan barak militer, yang tidak dirancang untuk anak-anak, menimbulkan risiko tinggi kekerasan fisik dan psikis.

Barak militer, dengan sifatnya yang otoriter dan terstruktur secara ketat, jauh dari lingkungan ramah anak yang mendukung perkembangan emosional dan psikologis yang sehat. Proses rehabilitasi dan pembinaan karakter idealnya dilakukan dalam suasana yang mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. Kurangnya pendekatan individual dan pemahaman terhadap latar belakang masalah setiap anak juga menjadi poin penting yang perlu diperhatikan.

Anak-anak yang dikirim ke barak militer mungkin tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat atau turut serta dalam pengambilan keputusan terkait masa depan mereka. Hal ini melanggar prinsip penghargaan terhadap pendapat anak, yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak. Proses pengambilan keputusan yang sepihak oleh orang tua, sekolah, atau pemerintah dapat dianggap sebagai bentuk pemaksaan dan penelantaran tanggung jawab.

Baca Juga:  Biaya Kuliah Kedokteran Unhas: UKT, Uang Pangkal & Rinciannya

Kriteria ‘Anak Bermasalah’ dan Prinsip Non-Diskriminasi

Klasifikasi siswa sebagai ‘nakal’ atau ‘bermasalah’ memerlukan kriteria yang jelas dan objektif, untuk menghindari stigma dan ketidakadilan. Penggunaan kriteria yang tidak tepat dapat berujung pada diskriminasi, melanggar hak anak untuk diperlakukan secara adil dan setara. Sistem yang adil membutuhkan proses identifikasi yang transparan dan melibatkan semua pihak terkait, termasuk anak itu sendiri.

Proses penentuan status ‘bermasalah’ harus didasari oleh asesmen yang komprehensif dan melibatkan tenaga profesional seperti psikolog anak dan konselor. Asesmen ini perlu mempertimbangkan konteks sosial, ekonomi, dan budaya anak, serta faktor-faktor yang berkontribusi pada perilakunya. Tanpa asesmen yang terstruktur, program ini berisiko melabelkan anak secara salah dan meningkatkan stigma negatif.

Pendekatan Alternatif yang Berbasis Hak dan Rehabilitatif

Sebagai alternatif yang lebih humanis dan sesuai hak asasi anak, Zendy merekomendasikan pendekatan berbasis hak anak yang mengedepankan upaya preventif dan rehabilitatif. Pendekatan ini menekankan pentingnya mengidentifikasi faktor penyebab perilaku anak, memberikan bimbingan dan pendampingan psikososial, serta melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan.

Pemerintah perlu fokus pada pembinaan karakter anak melalui program yang membangun, bukan menghukum. Keterlibatan tenaga profesional, seperti konselor dan psikolog anak, sangat krusial dalam proses ini. Mereka dapat membantu mengidentifikasi akar masalah dan merancang intervensi yang tepat, sesuai kebutuhan individual setiap anak. Pendidikan karakter tidak bisa hanya diukur dari kepatuhan pada aturan, tetapi juga perkembangan emosional, sosial, dan moral anak.

  • Program pembinaan harus menekankan aspek preventif, dengan fokus pada pencegahan perilaku bermasalah sejak dini.
  • Intervensi harus bersifat individual, disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing anak.
  • Keterlibatan orang tua, sekolah, dan komunitas sangat penting dalam proses pembinaan.
  • Pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan program sangat penting untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak.
Baca Juga:  Gaji Rp12 Juta? Kerja Kapal Pesiar 2025

Pendidikan karakter yang efektif tidak bisa disederhanakan menjadi hukuman fisik atau penempatan di lingkungan yang keras. Anak-anak perlu diberdayakan dengan pendekatan yang memahami latar belakang mereka, tanpa mengorbankan hak-hak dasar mereka. Perhatian khusus terhadap pengawasan dan evaluasi program juga sangat penting untuk memastikan efektifitas dan keberlanjutan program yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Keberhasilan jangka panjang program ini bergantung pada komitmen semua pihak untuk menciptakan lingkungan yang aman, suportif, dan kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Baca Juga

Tinggalkan komentar